Minggu, 22 Januari 2012

Hidup itu Hukum

Sebagai tindak lanjut dari pilihan hidup menjadi orang yang beriman yang harus menegakkan syariah Islam, maka berdasarkan ideologi dan politik Islam, seorang mukmin diwajibkan untuk memperjuangkan pemberlakuan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Hukum Islam merupakan salah satu implementasi dari syariah Islam dalam bidang konstitusi dan perundang-undangan. Dalam sub sistem politik Islam, dimana kedaulatan dan kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah, maka dalam mengambil kontitusi dan perundang-undangan yang dijalankan dalam pemerintahan Islam harus bersumberkan dari Undang-undang tertinggi dalam Islam yakni Al-Quran dan Hadits (Sunah Nabi). Dengan demikian pembuatan konstitusi dan perundang-undangan yang harus dijalankan dalam masyarakat dalam segala aspek harus bersumberkan dari Al-Quran dan Hadits, serta produk hukum yang hendak diberlakukan juga merupakan produk hukum Islam.
Al-Quran memberikan informasi dan penjelasan dalam beberapa ayat, mengenai hukum yang harus diterapkan. Ayat-ayat tersebut menjadi pedoman dan inspirasi dalam penyusunan hukum Islam yang dapat dirinci sebagai berikut.
1. Hukum Publik
Secara umum, Islam mengharuskan para pemimpin (ulil amri) untuk berlaku dan bertindak adil baik bagi diri sendiri maupun terhadap orang lain. Apalagi bagi mereka yang mendapat amanah sebagai pejabat Hakim, Jaksa, Pengacara dan pejabat terkait dengan pelaksanaan dan penegakan hukum syariah.
Allah juga memerintahkan setiap orang-orang yang beriman agar menegakkan keadilan, termasuk terhadap diri sendiri, orang tua, maupun semua keluarganya. Allah berfirman dalam Al-Quran.
”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”(QS.
An-Nisaa’, 4:135)
Berbuat adil ini harus dilakukan secara konsisten, termasuk terhadap orang yang tidak disukainya. Jangan sampai rasa benci membuat seseorang berlaku tidak adil, sebagaimana firman Allah
”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-
Maidah, 5:8)



2. Hukum Pidana
Pidana adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seorangmuka llaf, yang melanggar perintah atau larangan Allah yang dikhitbahkan kepada orang-orangmuka llaf yang dikarenakan ancaman hukuman, baik sanksi (hukuman) itu harus dilaksanakan sendiri, dilaksanakan penguasa, maupun Allah, baik tempat pelaksanaan hukuman itu di dunia atau di akhirat. (Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam,
Pustaka Pelajat, Yogyakarta, 2006)
Mukallaf adalah orang yang telah memenuhi syarat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, dan jika melanggaran aturan syariat akan dikenakan sanksi atau hukuman. Pidana dalam bahasa Al-Quran dikenal dengan ”uqubat” atau ”jarimah”. Di kalangan ulama salaf dikenal ”Al-Jinayat”. Yang dianggap sebagai tindakan pidana di dalam Al- Quran diantaranya pembunuhan, pencurian, perzinahan, tuduhan perzinahan, perusak atau pengacau keamanan, pemberontakan, murtad, minum khomr, enggan melaksanakan hukum Allah dan pelanggaran terhadap aturan Allah lainnya.
Atas tindakan pidanan ini seseorang akan mendapatkan sanksi hukum atau uqubat atau jarimah. Bentuk-bentuk uqubah dalam Islam antara lain adalah hudud, qishash, diyat, ta’zir, kifarat dan fidyah. Bentuk hukuman tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Al-Hudud adalah sanksi hukum yang tertentu dan mutlak yang menjadi hak
Allah, yang tidak dapat diubah oleh siapapun. Sanksi itu wajib dilaksanakan, manakala syarat-syarat dari tindak pidana itu terpenuhi. Sanksi ini dikenakan kepada kejahatan- kejahatan berat seperti zina, sariqah, riddah, qadraf dan lain-lain.
Kedua, Al-Qishash dan Al-Diyat. Al-Qishash adalah sanksi hukuman pembalasan
seimbang, seperti membunuh terhadap si pembunuh. Al-Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk ganti rugi, seperti jika ahli waris si terbunuh memberi maaf maka hukuman alternatif adalah diyat. Sanksi hukum al-qishash dan al-diyat adalah merupakan sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.
Ketiga, Ta’zir adalah sanksi hukum yang diserahkan kepada keputusan hakim atau pihak
berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu, seperti memenjarakan,
mengasingkan dan lain-lain.
Keempat, Kafarat dan Fidyah adalah sanksi hukum dalam bentuk membayar denda, yang
diserahkan pelaksanaannya kepada di pelanggar. Bentuk membayar denda ini berupa memerdekakan budak, berpuasa, penyembelihan hewan atau memberi makan orang miskin.
Al-Quran memberikan penjelasan mengenai hukuman atas berbagai macam bentuk
tindak pidana, diantaranya sebagai berikut:
a. Pembunuhan
Dalam tindak pidana pembunuhan, Islam akan memberlakukan hukumanqishaash, yaitu pembalasan yang setimpal, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Jika kemudian dari keluarga yang terbunuh memberikan pemaafan, maka sanksi hukumnya adalah membayar diyat berat kepada yang memberi maaf. Sebagaimana firman Allah berikut:
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kamu atas qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita, Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”(QS. Al-Baqarah, 2: 178)
Pada ayat lain juga dijelaskan jika seorang mukmin terbunuh secara tidak sengaja oleh mukmin lain, maka hukumannya dengan memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan membayar diyat ringan pada keluarga terbunuh. Hal ini ditunjukkan dalam ayat berikut:
”Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Dan jika ia (si terbunuh)dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendakalah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nisaa’, 4:92)
Adapun seorang mu’min yang dengan sengaja membunuh mu’min lainnya, maka balasannya di akhirat kelak adalah neraka jahanam. Sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut.
”Dan barangsiapa yang menbunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisaa’, 4:92)
Masih banyak ayat-ayat yang lain yang menjelaskan tentang sanksi tindak pidana
pembunuhan dengan berbagai kriteria dan persyaratan yang lain lagi.
b. Pencurian
Pencurian adalah mengambil barang-barang kepunyaam orang lain (tanpa hak) secara sembunyi dan secara sengaja untuk maksud memiliki. Pencuri yang melakukan pencurian, yang memenuhi persyaratan yang ditentukan, akan dikenakan sanksi hukuman
had dalam bentuk potong tangan, yang dilaksanakan oleh penguasa. Hal ini bisa kita lihat
pada firman Allah berikut.
”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah, 5: 38)
Pencurian harta umum/negara secara diam-diam dalam bentuk korupsi atau kolusi dapat dimasukkan ke dalam pencurian. Demikian juga memanfaatkan atau mengambil barang orang lain tanpa hak, termasuk juga dalam pencurian, memakan harta anak yatim (di luar haknya). Sanksinya adalah neraka sebagaimana firman Allah.
”Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”(QS. An-Nisaa’, 4:10).
Juga memakan hasil riba adalah suatu tindakan pidana yang akan mendapat sanksi
dari Allah. Allah berfirman dalam Al-Quran.
”Orang-orang yang makan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah, 2 :
275).
c. Perzinahan
Terhadap orang yang melakukan perzinahan, yaitu berhubungan intim tanpa ikatan perkawinan yang sah, Islam menetapkan hukuman sanksihad berupa dera (hukum cambuk) seratus kali, baik terhadap pezina laki-laki maupun pezina wanita. Dan pelaksanaan hukuman dera tersebut perlu disaksikan oleh masyarakat. Allah berfirman dalam Al-Quran.
”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka derahlah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur, 24:2)
Dalam peradilan atas orang-orang yang melakukan zina harus ada 4 orang saksi yang kuat. Jika hanya sekedar tuduhan, maka mereka yang menuduh itu dijatuhi hukuman dera sebanyak delapan puluh kali, sebagaimana firman Allah.
”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dam janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur, 24:4)
Jika tuduhan perzinahan dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya (li’an), yang dikuatkan dengan sumpah empat kali dan pada kali kelima ia mengatakan : ”bahwa laknat Allah kepadanya jika ia berbuat dusta”. Pada saat itu istrinya dapat dikenakanhad zina, karena ia (seolah-olah) sudah berzina. Sebagaimana firman Allah.
”Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang –orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.”(QS. An-Nuur, 24:6-7)
Untuk membebaskan diri dari had zina, si istri pun melakukan pembelaan dengan mengucapkan sumpah empat kali yang menyatakan kedustaan suaminya dan pada kali yang kelima ia menyebutkan ”bahwa Allah marah kepadanya, jika ia (suami) termasuk orang yang benar”. Dengan demikian si istri pun terlepas dari had zina, sebagaimana suami terlepas dari had zina karena li’an, sebagaimana firman Allah.
”Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa la’nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang- orang yang benar,” (QS. An-Nuur, 24:6-9).
d. Pemberontakan
Pemberontakan merupakan gerakan makar terhadap suatu pemerintahan muslim yang sah. Jika ada suatu kelompok yang melakukan pemberontakan atau memusuhi sesama muslim, maka disuruh perangi, sehingga mereka takluk dan berbuat adil. Perbuatan permusuhan itu dilarang Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah berikut.
”Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat, 49:9)
e. Murtad
Riddah atau murtad adalah keluar dari agama Islam. Terhadap orang yang murtad, pertama perlu diberi kesempatan untuk bertobat. Jika ia tidak mau bertobat, maka sanksi hukumnya adalah dibunuh, mereka tidak dipotong kaki dan tangan dan tidak dibuang. Dan la’nat Allah dan para malaikat akan ditimpakan kepada mereka, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran..
” ... Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka inilah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka inilah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah, 2:217)
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-sekali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisaa’, 4:137)
”Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bah Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul dan keterangan-keterangannya telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang- orang yang dzalim. Mereka itu, balasannya ialah bahwasanya la’nat Allah ditimpakan kepada mereka (demikian pula) la’nat para malaikat dan manusia seluruhnya.” (QS. Ali
Imran, 3:86-87)
f. Minum Khamar
Minum khamar adalah suatu tindakan pidana. Peminumnya berbuat dosa. Al-Quran tidak menegaskan sanksi hukumnya. Sanksi hukumnya dijelaskan hadits berupa had, yang dijelaskan penguasa.
”Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi, katkanlah : ”Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. ...” (QS. Al-Baqarah, 2:219)
g. Pelanggaran Terhadap Aturan-aturan Ibadah dan Muamalat
Bagi yang melanggar sumpah, maka sanksinya berupa kafarah dengan memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian atau memerdekakan budak atau berpuasa tiga hari. Pelaksanaan dilakukan sendiri oleh si pelanggar. Hal ini bisa kita lihat pada firman Allah.
”Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kami disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur (kepadaNya).” (QS. Al-Maidah, 5:89)
Bagi mereka yang terkepung maka ia harus membayar fidyahnya dengan menyembelih dam dan bagi mereka yang sakit atau ada gangguan di kepala, maka sanksinya dengan berfidyah yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila melakukan hajji tamattu, maka wajib memberikan fidyah dengan menyembelih dan atau berpuasa tiga hari di tanah haram dan tujuh hari manakala sudah berada di kampung halaman.
”Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur) maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaNya.”(QS. Al-
Baqarah, 2:196)
3. Hukum Perdata
Hukum perdata ialah rangkaian dari aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat, seperti hubungan hukum jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, warisan dan sebagainya. Hukum perdata bersama dengan hukum dagang digolongkan sebagai ”hukum privat”, yaitu sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan. (Hartono
Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberti, Yogayakarta, 2004)
Islam memberikan suatu pedoman bagi menyusunan peraturan dan perundangan hukum perdata ini, yang bisa kita kaji diantaranya menyangkut hukum perkawinan, hukum waris, hukum perjanjian/perikatan sebagai berikut:
a. Hukum Perkawinan
Allah swt menciptakan manusia berpasang-pasangan, yakni antara laki-laki dan wanita. Masing-masing mempunyai kecenderungan untuk menyatu dalam kebersamaan, saling mencintai, menyayangi,sharing atau curhat, untuk mendapatkah kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman. Kebersamaan antara laki-laki dan wanita dalam Islam harus dilakukan melalui sebuah ikatan perkawinan yang syah, mengikuti syarat dan rukunnya. Dengan ikatan perkawinan ini hubungan kebersamaan mereka menjadi halal dan tidak digolongkan sebagai perzinahan. Allah swt berfirman dalam Al-Quran :
”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum, :21)
Banyak manfaat yang didapat dari sebuah perkawinan, disamping untuk saling mencintai dan menyayangi, juga dalam usaha untuk mendapatkan keturunan, membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawadah warohmah. Karena itulah Allah memerintahkan agar orang-orang yang sendirian dan memenuhi persyaratannya, dikawinkan dengan pasangannya. Jangan karena takut akan kemiskinan, mereka meninggalkan perkawinan ini. Karena Allah yang akan memberikan rezeki sebagai karunia bagi mereka.
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika merela miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nuur, 24 :32)
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa’, 4:3)
Seorang laki-laki yang telah memenuhi persyaratan baik usia maupun tanggung jawab menjadi seorang suami, maka dirinya berhak memilih seorang calon istrinya. Bagi seorang laki-laki beriman, dirinya berhak mengawini orang-orang yang beriman, yang suci dan juga wanita ahli Kitab yang menjaga kehormatannya. Allah berfirman dalam Al- Quran.
”Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita- wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita- wanita yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, dan tidak maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah, 5:5)
Apabila tidak cukup perbelanjaannya mengawini wanita merdeka yang beriman, maka dapat mengambil wanita beriman dari budak-budak yang dimilikinya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran.
”Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu, sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka.”(QS. An-Nisaa’, 4:25)
Jika seorang lelaki telah menetapkan seorang wanita untuk dinikahi, maka yang pertama kali perlu dilakukan adalah dengan meminangnya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran.
”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita iu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis masa ’iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah, 2:235)
Sebuah perkawinan yang syah dilakukan melalui aqad nikah, dimana harus memenuhi persyaratan diantaranya, adanya wali wanita, dengan memberikan mahar (mas kawin) bagi wanita oleh manten laki-laki, dan dilakukan akad nikah di hadapan dua orang saksi. Allah berfirman dalam Al-Quran.
” ... Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di anatara mereka, berikanlah maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kamu yang telah merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha bijaksana.”
(QS. An-Nisaa’, 4:24)
Dalam sebuah perkawinan, maka bagaimana antara suami-istri dapat saling menyayangi, menghormati dan menjaga hak-hak diantara keduanya dan masing-masing melakukan kewajibannya. Seorang suami harus berlaku dan bergaul dengan istrinya dengan cara yang ma’ruf dan lemah lembut.
”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
(QS. An-Nisaa’, 4:19)
Demikian juga, seorang istri harus menjaga ketaatan kepada suaminya, menjaga
kehormatan suami dan hartanya di rumah.
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki0laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka.” (QS. An-Nisaa’, 4:34)
Sebuah rumah tangga yang telah terbentuk, yang dilingkungi dengan suasana sakinah, mawadah, warohmah, sedapat mungkin untuk terus dijaga jangan sampai terjadi perpecahan diantara suami dan istri.
Demikianlah beberapa ayat yang dapat dijadikan pedoman bagi penetapan hukum
perkawinan yang bersumber dari Al-Quran.
b. Hukum Waris
Bagi seorang yang kedatangan tanda-tanda kematian dengan meninggalkan harta,
maka diwajibkan atasnya untuk berwasiat atas pembagian harta bendanya tersebut untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya. Penyampaian wasiat ini hendaknya dihadapan dua orang
saksi yang adil. Hal ini dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut.
”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah, 2:180)
”Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka berdua bersumpah dengan nama Allah – Jika kamu ragu-ragu: ”(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harta yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikannya persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian kami tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.
(QS. Al-Maidah, 5:106)
Adapun aturan pembagian warisan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang
adalah digambarkan oleh ayat-ayat berikut.
”Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan. Jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunyamendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An-Nisaa’, 4:11)
”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang mati, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutang-hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepala ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar- benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”(QS. An-Nisaa’,
4:12)
c. Hukum Perjanjian/Perikatan
Dalam bermuamalah, ada situasi dimana antara pelaku aktivitas harus melakukan perjanjian atau perikatan, seperti dalam transaksi jual beli yang dilakukan bukan secara tunai, transaksi hutang piutang, kontrak pemborongan barang dan jasa dan lain-lainnya. Dalam aturan dan perundangan sistem hukum Islam, diwajibkan untuk membuat suatu catatan tertulis berupa perjanjian atau perikatan diantara pihak-pihak yang terlibat dan diketahui oleh seorang saksi atau lebih.
Allah memberlakukan agar orang-orang yang beriman memenuhi akad-akad yang dilakukan dan mengikuti aturan dan hukum Allah yang telah ditetapkan, sebagaimana firmanNya dalam Al-Quran.
”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah yang menetapakan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Maidah, 5:1)
Secara detail Al-Quran menjelaskan bagaimana keharusan orang-oang beriman untuk melakukan perjanjian dan perikatan dalam bermuamalah, agar tidak terjadi kerugian di satu pihak dan menguntungkan di pihak lain secara tidak halal.
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai sesuai waktu yang telah ditentukan, hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagimana Allah telah mangajarkannya, maka ia hendaklah menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan yang (demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah
suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah, 2:282)