Sebagai
tindak lanjut dari pilihan hidup menjadi orang yang beriman yang harus menegakkan syariah Islam, maka berdasarkan ideologi dan politik Islam,
seorang mukmin diwajibkan untuk memperjuangkan
pemberlakuan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa. Hukum Islam merupakan salah satu implementasi
dari syariah Islam dalam bidang konstitusi dan perundang-undangan. Dalam sub sistem politik Islam, dimana kedaulatan dan kekuasaan
tertinggi ada di tangan Allah, maka dalam mengambil
kontitusi dan perundang-undangan yang dijalankan dalam pemerintahan
Islam harus bersumberkan dari Undang-undang tertinggi dalam Islam yakni Al-Quran dan Hadits (Sunah Nabi). Dengan demikian pembuatan
konstitusi dan perundang-undangan yang harus dijalankan
dalam masyarakat dalam segala aspek harus bersumberkan
dari Al-Quran dan Hadits, serta produk hukum yang hendak diberlakukan juga merupakan produk hukum Islam.
Al-Quran
memberikan informasi dan penjelasan dalam beberapa ayat, mengenai hukum yang harus diterapkan. Ayat-ayat tersebut menjadi pedoman dan
inspirasi dalam penyusunan hukum Islam yang dapat dirinci
sebagai berikut.
1. Hukum Publik
Secara
umum, Islam mengharuskan para pemimpin (ulil amri) untuk berlaku dan bertindak adil baik bagi diri sendiri maupun terhadap orang lain.
Apalagi bagi mereka yang mendapat amanah sebagai pejabat
Hakim, Jaksa, Pengacara dan pejabat terkait dengan
pelaksanaan dan penegakan hukum syariah.
Allah
juga memerintahkan setiap orang-orang yang beriman agar menegakkan keadilan, termasuk terhadap diri sendiri, orang tua, maupun semua
keluarganya. Allah berfirman dalam Al-Quran.
”Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.”(QS.
An-Nisaa’, 4:135)
Berbuat
adil ini harus dilakukan secara konsisten, termasuk terhadap orang yang tidak
disukainya. Jangan sampai rasa benci membuat seseorang berlaku
tidak adil, sebagaimana firman Allah
”Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-
Maidah, 5:8)
2. Hukum Pidana
Pidana
adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seorangmuka llaf, yang melanggar
perintah atau larangan Allah yang dikhitbahkan kepada orang-orangmuka llaf yang dikarenakan ancaman hukuman,
baik sanksi (hukuman) itu harus dilaksanakan sendiri,
dilaksanakan penguasa, maupun Allah, baik tempat pelaksanaan hukuman itu di
dunia atau di akhirat. (Abdul Halim
Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam,
Pustaka Pelajat, Yogyakarta, 2006)
Mukallaf
adalah orang yang telah memenuhi syarat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, dan jika melanggaran aturan syariat akan dikenakan
sanksi atau hukuman. Pidana dalam bahasa Al-Quran dikenal
dengan ”uqubat” atau ”jarimah”. Di kalangan ulama salaf
dikenal ”Al-Jinayat”. Yang dianggap sebagai tindakan pidana di dalam Al-
Quran diantaranya pembunuhan, pencurian, perzinahan, tuduhan
perzinahan, perusak atau pengacau keamanan,
pemberontakan, murtad, minum khomr, enggan melaksanakan hukum
Allah dan pelanggaran terhadap aturan Allah lainnya.
Atas
tindakan pidanan ini seseorang akan mendapatkan sanksi hukum atau uqubat
atau jarimah. Bentuk-bentuk uqubah dalam Islam antara lain
adalah hudud, qishash, diyat, ta’zir, kifarat dan fidyah.
Bentuk hukuman tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Al-Hudud adalah sanksi hukum yang
tertentu dan mutlak yang menjadi hak
Allah, yang tidak dapat
diubah oleh siapapun. Sanksi itu wajib dilaksanakan, manakala syarat-syarat dari tindak pidana itu terpenuhi. Sanksi ini dikenakan
kepada kejahatan- kejahatan berat seperti zina, sariqah,
riddah, qadraf dan lain-lain.
Kedua, Al-Qishash dan Al-Diyat. Al-Qishash
adalah sanksi hukuman pembalasan
seimbang, seperti
membunuh terhadap si pembunuh. Al-Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk ganti rugi, seperti jika ahli waris si terbunuh memberi
maaf maka hukuman alternatif adalah diyat. Sanksi hukum
al-qishash dan al-diyat adalah merupakan sanksi hukum
perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.
Ketiga, Ta’zir adalah sanksi hukum yang
diserahkan kepada keputusan hakim atau pihak
berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu, seperti
memenjarakan,
mengasingkan dan lain-lain.
Keempat, Kafarat dan Fidyah adalah sanksi
hukum dalam bentuk membayar denda, yang
diserahkan pelaksanaannya
kepada di pelanggar. Bentuk membayar denda ini berupa memerdekakan
budak, berpuasa, penyembelihan hewan atau memberi makan orang miskin.
Al-Quran memberikan penjelasan mengenai hukuman atas
berbagai macam bentuk
tindak pidana, diantaranya sebagai berikut:
a. Pembunuhan
Dalam
tindak pidana pembunuhan, Islam akan memberlakukan hukumanqishaash, yaitu
pembalasan yang setimpal, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, wanita dengan wanita. Jika kemudian dari keluarga yang
terbunuh memberikan pemaafan, maka sanksi hukumnya adalah
membayar diyat berat kepada yang
memberi maaf. Sebagaimana firman Allah berikut:
”Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan kamu atas qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita, Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui
batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”(QS. Al-Baqarah, 2: 178)
Pada
ayat lain juga dijelaskan jika seorang mukmin terbunuh secara tidak sengaja
oleh mukmin lain, maka hukumannya dengan memerdekakan seorang
hamba sahaya mukmin dan membayar
diyat ringan pada keluarga terbunuh. Hal ini ditunjukkan
dalam ayat berikut:
”Dan tidak layak bagi
seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang
mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum
yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si
pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Dan jika
ia (si terbunuh)dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan
hamba sahaya yang mu’min. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendakalah ia (si pembunuh) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nisaa’, 4:92)
Adapun
seorang mu’min yang dengan sengaja membunuh mu’min lainnya, maka balasannya di akhirat kelak adalah neraka jahanam. Sebagaimana firman
Allah dalam ayat berikut.
”Dan barangsiapa yang
menbunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah
jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisaa’, 4:92)
Masih banyak ayat-ayat yang lain yang menjelaskan tentang
sanksi tindak pidana
pembunuhan dengan berbagai kriteria dan persyaratan yang
lain lagi.
b. Pencurian
Pencurian
adalah mengambil barang-barang kepunyaam orang lain (tanpa hak) secara sembunyi dan secara sengaja untuk maksud memiliki. Pencuri yang
melakukan pencurian, yang memenuhi persyaratan yang
ditentukan, akan dikenakan sanksi hukuman
had dalam bentuk potong tangan, yang
dilaksanakan oleh penguasa. Hal ini bisa kita lihat
pada firman Allah berikut.
”Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah, 5: 38)
Pencurian
harta umum/negara secara diam-diam dalam bentuk korupsi atau kolusi dapat dimasukkan ke dalam pencurian. Demikian juga memanfaatkan atau
mengambil barang orang lain tanpa hak, termasuk juga
dalam pencurian, memakan harta anak yatim (di luar haknya).
Sanksinya adalah neraka sebagaimana firman Allah.
”Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka
itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).”(QS. An-Nisaa’,
4:10).
Juga memakan hasil riba adalah suatu tindakan pidana yang
akan mendapat sanksi
dari Allah. Allah berfirman dalam Al-Quran.
”Orang-orang yang makan
(mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah, 2 :
275).
c. Perzinahan
Terhadap
orang yang melakukan perzinahan, yaitu berhubungan intim tanpa ikatan perkawinan yang sah, Islam menetapkan hukuman sanksihad berupa dera (hukum cambuk)
seratus kali, baik terhadap pezina laki-laki maupun pezina wanita. Dan pelaksanaan hukuman dera tersebut perlu disaksikan oleh masyarakat.
Allah berfirman dalam Al-Quran.
”Perempuan yang berzina
dan laki-laki yang berzina, maka derahlah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
dari orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur, 24:2)
Dalam peradilan atas
orang-orang yang melakukan zina harus ada 4 orang saksi yang kuat. Jika hanya sekedar tuduhan, maka mereka yang menuduh itu
dijatuhi hukuman dera sebanyak delapan puluh kali,
sebagaimana firman Allah.
”Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera, dam janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur,
24:4)
Jika
tuduhan perzinahan dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya (li’an), yang dikuatkan
dengan sumpah empat kali dan pada kali kelima ia mengatakan : ”bahwa laknat Allah kepadanya jika ia berbuat dusta”. Pada saat itu istrinya
dapat dikenakanhad zina, karena ia
(seolah-olah) sudah berzina. Sebagaimana firman Allah.
”Dan orang-orang yang
menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang –orang yang benar. Dan (sumpah) yang
kelima bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang
yang berdusta.”(QS. An-Nuur, 24:6-7)
Untuk
membebaskan diri dari had zina, si istri pun melakukan pembelaan dengan mengucapkan sumpah empat kali yang menyatakan kedustaan suaminya dan
pada kali yang kelima ia menyebutkan ”bahwa Allah marah
kepadanya, jika ia (suami) termasuk orang yang benar”.
Dengan demikian si istri pun terlepas dari had zina, sebagaimana suami terlepas dari had zina karena li’an, sebagaimana firman Allah.
”Istrinya itu dihindarkan
dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya
suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa la’nat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang- orang yang benar,”
(QS. An-Nuur, 24:6-9).
d. Pemberontakan
Pemberontakan
merupakan gerakan makar terhadap suatu pemerintahan muslim yang sah. Jika ada suatu kelompok yang melakukan pemberontakan atau memusuhi
sesama muslim, maka disuruh perangi, sehingga mereka
takluk dan berbuat adil. Perbuatan permusuhan itu
dilarang Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah berikut.
”Dan jika ada dua
golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan
berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat, 49:9)
e. Murtad
Riddah
atau murtad adalah keluar dari agama Islam. Terhadap orang yang murtad, pertama perlu diberi kesempatan untuk bertobat. Jika ia tidak mau
bertobat, maka sanksi hukumnya adalah dibunuh, mereka
tidak dipotong kaki dan tangan dan tidak dibuang. Dan
la’nat Allah dan para malaikat akan ditimpakan kepada mereka, sebagaimana
firman Allah dalam Al-Quran..
” ... Barang siapa yang
murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran,
maka mereka inilah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka inilah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah, 2:217)
”Sesungguhnya orang-orang
yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian
kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-sekali Allah tidak
akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki
mereka kepada jalan yang lurus.”
(QS. An-Nisaa’, 4:137)
”Bagaimana Allah akan
menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta
mereka telah mengakui bah Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul dan keterangan-keterangannya telah datang kepada mereka? Allah tidak
menunjuki orang- orang yang dzalim. Mereka itu,
balasannya ialah bahwasanya la’nat Allah ditimpakan kepada
mereka (demikian pula) la’nat para malaikat dan manusia seluruhnya.” (QS. Ali
Imran, 3:86-87)
f. Minum Khamar
Minum
khamar adalah suatu tindakan pidana. Peminumnya berbuat dosa. Al-Quran tidak menegaskan sanksi hukumnya. Sanksi hukumnya dijelaskan hadits
berupa had, yang dijelaskan penguasa.
”Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi, katkanlah : ”Pada keduanya itu terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya. ...” (QS.
Al-Baqarah, 2:219)
g. Pelanggaran Terhadap Aturan-aturan
Ibadah dan Muamalat
Bagi
yang melanggar sumpah, maka sanksinya berupa kafarah dengan memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian atau memerdekakan
budak atau berpuasa tiga hari. Pelaksanaan dilakukan
sendiri oleh si pelanggar. Hal ini bisa kita lihat pada
firman Allah.
”Allah tidak menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kami disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi
makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian
kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu
bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah
sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur (kepadaNya).” (QS. Al-Maidah,
5:89)
Bagi
mereka yang terkepung maka ia harus membayar fidyahnya dengan menyembelih dam dan bagi mereka yang sakit atau ada gangguan di
kepala, maka sanksinya dengan berfidyah yaitu berpuasa
atau bersedekah atau berkorban. Apabila melakukan hajji
tamattu, maka wajib memberikan fidyah dengan menyembelih dan atau berpuasa tiga hari di tanah haram dan tujuh hari manakala sudah berada
di kampung halaman.
”Dan sempurnakanlah ibadah
haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang
oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di
tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau
ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur) maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang
ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan
haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. Tetapi jika jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh
hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh hari yang sempurna. Demikian itu (kewajiban
membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah).
Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksaNya.”(QS. Al-
Baqarah, 2:196)
3. Hukum Perdata
Hukum
perdata ialah rangkaian dari aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di
dalam masyarakat, seperti hubungan hukum jual beli,
sewa-menyewa, tukar-menukar, warisan dan sebagainya.
Hukum perdata bersama dengan hukum dagang digolongkan sebagai ”hukum privat”, yaitu sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan. (Hartono
Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberti,
Yogayakarta, 2004)
Islam
memberikan suatu pedoman bagi menyusunan peraturan dan perundangan hukum perdata ini, yang bisa kita kaji diantaranya menyangkut hukum
perkawinan, hukum waris, hukum perjanjian/perikatan
sebagai berikut:
a. Hukum Perkawinan
Allah
swt menciptakan manusia berpasang-pasangan, yakni antara laki-laki dan wanita. Masing-masing mempunyai kecenderungan untuk menyatu dalam
kebersamaan, saling mencintai, menyayangi,sharing atau curhat, untuk mendapatkah
kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman. Kebersamaan
antara laki-laki dan wanita dalam Islam harus dilakukan
melalui sebuah ikatan perkawinan yang syah, mengikuti syarat dan rukunnya.
Dengan ikatan perkawinan ini hubungan kebersamaan mereka menjadi
halal dan tidak digolongkan sebagai perzinahan. Allah swt
berfirman dalam Al-Quran :
”Dan diantara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum, :21)
Banyak
manfaat yang didapat dari sebuah perkawinan, disamping untuk saling mencintai dan menyayangi, juga dalam usaha untuk mendapatkan
keturunan, membentuk sebuah keluarga yang sakinah,
mawadah warohmah. Karena itulah Allah memerintahkan agar
orang-orang yang sendirian dan memenuhi persyaratannya, dikawinkan dengan
pasangannya. Jangan karena takut akan kemiskinan, mereka
meninggalkan perkawinan ini. Karena Allah yang akan memberikan
rezeki sebagai karunia bagi mereka.
”Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika merela
miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan
Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nuur, 24 :32)
”Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa’, 4:3)
Seorang
laki-laki yang telah memenuhi persyaratan baik usia maupun tanggung jawab
menjadi seorang suami, maka dirinya berhak memilih seorang calon
istrinya. Bagi seorang laki-laki beriman, dirinya berhak
mengawini orang-orang yang beriman, yang suci dan juga
wanita ahli Kitab yang menjaga kehormatannya. Allah berfirman dalam Al- Quran.
”Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita- wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita- wanita
yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, dan tidak maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk
orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah, 5:5)
Apabila
tidak cukup perbelanjaannya mengawini wanita merdeka yang beriman, maka dapat mengambil wanita beriman dari budak-budak yang dimilikinya,
sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran.
”Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita
yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu, sebahagian kamu adalah dari
sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka.”(QS. An-Nisaa’, 4:25)
Jika
seorang lelaki telah menetapkan seorang wanita untuk dinikahi, maka yang
pertama kali perlu dilakukan adalah dengan meminangnya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran.
”Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-wanita iu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang ma’ruf.
Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis masa ’iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.”
(QS. Al-Baqarah, 2:235)
Sebuah
perkawinan yang syah dilakukan melalui aqad nikah, dimana harus memenuhi persyaratan diantaranya, adanya wali wanita, dengan
memberikan mahar (mas kawin) bagi wanita oleh manten
laki-laki, dan dilakukan akad nikah di hadapan dua orang saksi.
Allah berfirman dalam Al-Quran.
” ... Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang
telah kamu nikmati (campuri) di anatara mereka,
berikanlah maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban,
dan tiadalah mengapa bagi kamu yang telah merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha
bijaksana.”
(QS. An-Nisaa’, 4:24)
Dalam
sebuah perkawinan, maka bagaimana antara suami-istri dapat saling menyayangi, menghormati dan menjaga hak-hak diantara keduanya dan
masing-masing melakukan kewajibannya. Seorang suami harus
berlaku dan bergaul dengan istrinya dengan cara yang
ma’ruf dan lemah lembut.
”Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
(QS. An-Nisaa’, 4:19)
Demikian juga, seorang istri harus menjaga ketaatan kepada
suaminya, menjaga
kehormatan suami dan hartanya di rumah.
”Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki0laki) atas sebahagian yang lain
(wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka.” (QS. An-Nisaa’, 4:34)
Sebuah
rumah tangga yang telah terbentuk, yang dilingkungi dengan suasana sakinah,
mawadah, warohmah, sedapat mungkin untuk terus dijaga jangan
sampai terjadi perpecahan diantara suami dan istri.
Demikianlah beberapa ayat yang dapat dijadikan pedoman bagi
penetapan hukum
perkawinan yang bersumber dari Al-Quran.
b. Hukum Waris
Bagi seorang yang kedatangan tanda-tanda kematian dengan
meninggalkan harta,
maka diwajibkan atasnya untuk berwasiat atas pembagian harta
bendanya tersebut untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya. Penyampaian wasiat ini
hendaknya dihadapan dua orang
saksi yang adil. Hal ini dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Quran
sebagai berikut.
”Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah, 2:180)
”Hai orang-orang yang
beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang
dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang
adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan
kamu. Jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu
ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu
sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka berdua bersumpah dengan nama Allah – Jika kamu ragu-ragu: ”(Demi Allah) kami tidak akan
menukar sumpah ini dengan harta yang sedikit (untuk
kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak
(pula) kami menyembunyikannya persaksian Allah; sesungguhnya
kami kalau demikian kami tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.
(QS. Al-Maidah, 5:106)
Adapun aturan pembagian warisan harta kekayaan yang
ditinggalkan seseorang
adalah digambarkan oleh ayat-ayat berikut.
”Allah mensyari’atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan. Jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunyamendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfa’atnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”(QS. An-Nisaa’, 4:11)
”Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah wasiat yang mereka buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang mati, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta.Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka
bersekutu yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutang-hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepala ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar- benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”(QS. An-Nisaa’,
4:12)
c. Hukum Perjanjian/Perikatan
Dalam
bermuamalah, ada situasi dimana antara pelaku aktivitas harus melakukan perjanjian atau perikatan, seperti dalam transaksi jual beli yang
dilakukan bukan secara tunai, transaksi hutang piutang,
kontrak pemborongan barang dan jasa dan lain-lainnya. Dalam
aturan dan perundangan sistem hukum Islam, diwajibkan untuk membuat suatu
catatan tertulis berupa perjanjian atau perikatan diantara
pihak-pihak yang terlibat dan diketahui oleh seorang
saksi atau lebih.
Allah
memberlakukan agar orang-orang yang beriman memenuhi akad-akad yang dilakukan dan mengikuti aturan dan hukum Allah yang telah ditetapkan,
sebagaimana firmanNya dalam Al-Quran.
”Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah yang menetapakan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS.
Al-Maidah, 5:1)
Secara
detail Al-Quran menjelaskan bagaimana keharusan orang-oang beriman untuk
melakukan perjanjian dan perikatan dalam bermuamalah, agar tidak
terjadi kerugian di satu pihak dan menguntungkan di pihak
lain secara tidak halal.
”Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai sesuai waktu yang telah ditentukan, hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagimana Allah telah mangajarkannya, maka
ia hendaklah menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan
lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu’amalahmu
itu), kecuali mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli;
dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
Jika kamu lakukan yang (demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah
suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah;
Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.
Al-Baqarah, 2:282)